Click here for Myspace Layouts

Menghilangkan Kebiasaan Carok dari Salah Satu Budaya Masyarakat Madura

Posted by Pitaloka Yuniartiningtyas | Posted in

Oleh: Phietha Lobhert

Carok adalah persambungan diri sebagai komunikasi akhir dengan mempergunakan senjata tajam (celurit) yang berupaya menjatuhkan lawan masing-masing untuk merebutkan sosial prestise sabagai imbalan dari simpanan tekanan perasaan yang dimiliki masing-masing pelaku. Setiapa orang yang bukan asli Madura akan beranggapan bahwa orang Madura tidak bersahabat, keras, dan tidak ramah. Dikarenakan mereka mendengar cerita budaya carok di Madura. Tetapi sebenarnya carok bukan bagian dari Budaya Madura melainkan ulah pelaku carok yang bermaksud menghilangkan aib akibat pola tingkah laku seseorang yang mungkin dianggap mencemarkan martabat harga diri keluarga dan pribadi. Jadi, sudah jelas jika carok bukanlah budaya Madura.
Jadi, soal carok itu bukanlah suatu kebiasaan atau budaya struktural. Sebab,belum tentu seorang yang dulu jagoan dan dikenal suka carok, lalu turunannya otomatis juga carok. Yang jelas, carok itu, menurut saya lebih didominasi pada masalah harga diri.

Carok itu bisa terjadi kepada siapa saja. Artinya, meski carok itu bukanlah tradisi atau menganut garis turunan, tapi kalau menyangkut harga diri, martabat keluarga yang dilecehkan, maka carok bisa jadi cara terbaik untuk menyelesaikan.
Contohnya, ada satu keluarga yang tidak carok, namun suatu ketika kepala keluarga itu tewas gara-gara dicarok. Hampir bisa dipastikan sang anak ketika kejadian masih kecil, pada saat dewasa akan melakukan perhitungan dengan si pembunuh orang tuanya.
Apa yang dilakukan si anak yang sudah dewasa itu bukanlah sikap balas dendam. Tetapi, merupakan pembelaan atas nama keluarga. Hal seperti ini bisa terjadi sampai mengakar. Karena itu, jangan heran, kalau mendengar cerita carok yang terjadi antar keluarga secara berkepanjangan, dan terkadang melibatkan antar kampung.
Banyak kalangan berpendapat bahwa kultur (sosial-budaya) suku Madura selama ini kurang menggembirakan. Karena anggapan itu, orang Madura sering dijadikan anekdot yang lucu-lucu, bahkan terkadang terkesan seram. Salah satu contohnya adalah anggapan bahwa orang Madura suka carok dan sulit diajak maju dan lain-lainnya. Padahal carok bukanlah budaya Madura, pandangan itu timbul dikarenakan anggapan bahwa orang Madura mudah tersinggung dan bertempramen tinggi serta mudah marah.
Namun semua itu akan berubah jika telah mengenal masyarakat Madura. Ekspresivitas, spontanitas, dan keterbukaan orang Madura, senantiasa termanifestasikan ketika harus merespon segala sesuatu yang dihadapi, khususnya terhadap perlakuan orang lain atas dirinya. Misalnya, jika perlakuan itu membuat hati senang, maka secara terus terang tanpa basa-basi, mereka akan mengungkapkan rasa terima kasihnya seketika itu juga. Tetapi sebaliknya, mereka akan spontan bereaksi keras bila perlakuan terhadap dirinya dianggap tidak adil dan menyakitkan hati.
Untuk itu sebagai masyarakat Madura kita harus mencerminkan sikap postif dan menggali potensi seni budaya Madura misalnya Topeng Dalang. Sehingga anggapan negatif akan hilang.
Membangun citra ini dimulai dengan menonjolkan hal-hal yang positif dari Budaya Madura. Untuk itu perlu dilakukan inventarisasi yang cermat nilai-nilai sosial budaya yang positif atau sering diistilahkan dengan nilai-nilai luhur. Nilai-nilai tersebut bisa kita temukan dalam pelbagai parebhasan, saloka, bangsalan atau paparegan yang banyak memuat “bhabhurughan becce’”.
Nilai-nilai ini perlu dipilah menjadi beberapa kelompok. Kelompok pertama adalah nilai-nilai yang perlu dilestarikan dan dikembangkan. Di antaranya adalah ungkapan-ungkapan : “Manossa coma dharma”. Ungkapan ini menunjukkan keyakinan akan kekuasaan Allah Yang Maha Kuasa. Selain itu, “Abhantal ombha’ asapo’ angen, abhantal syahadad asapo’ iman” Ungkapan ini menunjukkan berjalin kelindannya Budaya Madura dengan nilai-nilai agama Islam. Bahkan, penting dimasukkan “Bango’ jhuba’a e ada’ etembang jhubha’ e budi”.

Comments (0)

Posting Komentar